Kamis, 22 Desember 2011

PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN



PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN
PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN


Latar Belakang Masalah 
Pendekatan dan praktek pertanian konvensional yang dilaksanakan di sebagian besar negara maju dan negara sedang berkembang termasuk Indonesia merupakan praktek pertanian yang tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertanian konvensional dilandasi oleh pendekatan industrial dengan orientasi pertanian agribisnis skala besar, padat modal, padat inovasi teknologi, penanaman benih/varietas tanaman unggul secara seragam spasial dan temporal, serta ketergantungan pada masukan produksi dari luar yang boros energi tak terbarukan, termasuk penggunaan berbagai jenis agrokimia (pupuk dan pestisida), dan alat mesin pertanian. Secara teoritis dan perhitungan ekonomi penerapan pertanian konvensional dianggap sebagai alternatif teknologi yang tepat untuk menyelesaikan masalah kekurangan pangan dan gizi serta ketahanan pangan yang dihadapi penduduk dunia.
Setelah sekitar setengah abad kita menerapkan dan mengembangkan pertanian konvensional, sederetan daftar panjang dampak negatif telah dilaporkan dan dikemukakan oleh berbagai lembaga, peneliti dan perseorangan pada aras internasional, nasional dan lokal. Berbagai dampak ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan masyarakat semakin meragukan masyarakat dunia akan keberlanjutan ekosistem pertanian dalam menopang kehidupan manusia pada masa mendatang. Pendekatan pragmatis peningkatan produksi pangan jangka pendek cenderung mendorong dan meningkatkan praktek pengurasan dan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran dan terus menerus sehingga mengakibatkan semakin menurunnya daya dukung lingkungan pertanian dalam menyangga kegiatan-kegiatan pertanian.
Bila kebijakan dan praktek pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah dan petani yang masih bertumpu pada kebijakan dan praktek konvensional, akan membahayakan masa depan petani, lingkungan pertanian, masyarakat, bangsa negara serta dunia. Kebijakan dan praktek pertanian konvensional harus diubah menjadi kebijakan dan praktek pertanian berkelanjutan yang bertujuan memenuhi kebutuhan produk pertanian dan pangan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan produk pertanian dan pangan generasi masa mendatang.

Dampak Pertanian Konvensional
Beberapa dampak samping pendekatan dan penerapan pertanian konvensional antara lain:
·          Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor.
·          Penurunan kesuburan tanah.
·          Kehilangan bahan organik tanah.
·          Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah.
·          Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida,    limbah domestic.
·          Eutrifikasi badan air.
·          Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar.
·          Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman local.
·          Kontribusi dalam proses pemanasan global.
·          Peningkatan pengangguran.
·          Penurunan lapangan kerja, peningkatan kesenjangan sosial dan jumlah petani gurem di pedesaan.
·          Peningkatan kemiskinan dan malnutrisi di pedesaan.
·          Ketergantungan petani pada pemerintah dan perusahaan/industri agrokimia.
Penerapan pertanian konvensional pada tahap-tahap permulaan mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pangan secara nyata, namun kemudian efisiensi produksi semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan. Bila kita terapkan prinsip ekonomi lingkungan dengan menginternalisasikan biaya lingkungan dalam perhitungan neraca ekonomi suatu usaha dan program pembangunan pertanian maka yang diperoleh pengusaha dan negara adalah kerugian besar. Perhitungan GNP dan GDP yang dilakukan Pemerintah saat ini sebenarnya tidak realistis. Sayangnya biaya lingkungan jarang dimasukkan sepenuhnya dalam perhitungan neraca usaha dan pertumbuhn ekonomi nasional.

Agenda 21 Komitmen Pertanian Berkelanjutan
Dadar akan dampak samping Pertanian Konvensional masyarakat lingkungan global sudah lama menyepakati penerapan dan pengembangan konsep Pertanian Berkelanjutan atau Sustainable Development sebagai realisasi Pembangunan Berkelanjutan pada sektor Pertanian dan Pangan. Agenda 21 merupakan agenda berbagai program aksi pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh para pemimpin dunia di KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992. Chapter 14 Agenda 21 berjudul Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development (SARD) merinci berbagai konsep dan program aksi Pertanian Berkelanjutan yang perlu dilaksanakan oleh semua negara .
Menurut Agenda 21 konsep keberlanjutan merupakan konsep yang multidimensional termasuk didalamnya pencapaian tujuan ekologi, sosial dan ekonomi. Antara 3 dimensi ini terdapat kaitan dan ketergantungan yang sangat erat. Penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi di pedesaan merupakan dasar untuk penyediaan cara-cara untuk mempertahankan fungsi sosial dan lingkungan mereka. Menjaga kualitas lingkungan juga merupakan prasyarat atau prakondisi yang diperlukan bagi pengembangan potensi ekonomi jangka panjang di pedesaan. Integritas ekologi dan nilai lansekap pedesaan dapat merupakan daerah pedesaan sebagai kawasan wisata dan tempat hidup yang tenang dan menyenangkan sehingg dapat menarik investor untuk menanamkan modal.
Keberlanjutan pembangunan merupakan keberlanjutan peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat/penduduk tempat mereka berada dan hidup termasuk dalamnya ketersediaan berbagai jenis pangan yang cukup dan bermutu. Ketahanan pangan harus dilihat dari konteks peningkatan kualitas hidup penduduk dan lingkungan hidup di pedesaan. Pearce et al. (1994) menyatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development) mempunyai makna dan tujuan yang lebih luas daripada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan atau sustainable economic growth.
Tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan ekonomi pada tingkat tertentu dapat bersinergi. Namun pada kondisi-kondisi tertentu di lapangan, ketiga-tiganya dapat saling bersaing dan kurang saling mendukung. Apabila hal ini terjadi, konsep keberlanjutan mengarah pada diperlukannya keseimbangan yang benar antara 3 dimensi tersebut. Pilihan-pilihan kebijakan perlu ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan masing-masing dimensi yang saling berkaitan.
Pada tahun 2002, sepuluh tahun setelah KTT Bumi Rio kembali pemimpin-pemimpin dunia menghadiri KTT Bumi-10 di Johannesburg untuk mengevaluasi pelaksanaan Agenda 21. Hasil evaluasi FAO terhadap pelaksanaan Agenda 21 tentang SARD, memperlihatkan banyak negara (termasuk Indonesia) yang belum melaksanakan berbagai kebijakan dan program SARD yang telah disepakati dan ditandatangani di Rio tahun 1992.
Sebagai kesimpulan KTT Bumi-10 tetap sepakat bahwa Agenda 21 tetap valid dan relevan dilaksanakan sebagai agenda dunia pembangunan berkelanjutan pada era milenium ini. KTT Johannesburg menghasilkan Deklarasi dan Rencana Implementasi Johannesburg yang memberi penguatan pada program-program strategis (Agenda 21) dari deklarasi-deklarasi sebelumnya. KTT mengakui keterkaitan Pembangunan Berkelanjutan dengan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, perdagangan global, teknologi informasi dan yang lain melalui Millenium Development Goals (MDGs). Lembaga-lembaga dunia telah menetapkan bahwa pada tahun 2015 dunia harus sudah bebas dari kelaparan dan kekurangan pangan.

Pengertian Pertanian Berkelanjutan
Banyak definisi mengenai Pertanian Berkelanjutan dikemukakan oleh lembaga, pakar atau persorangan. Menurut FAO yang disebut Pertanian Berkelanjutan adalah setiap prinsip, metode, praktek, dan falsafah yang bertujuan agar pertanian layak ekonomi, secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial dapat diterima, berkeadilan, dan secara sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan dengan pendekatan holistik. Menurut Thrupp (1996) Pertanian Berkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggung-jawabkan yang secara skematis digambarkan oleh Gambar 1. Pertanian Berkelanjutan merupakan sistem usaha tani yang mampu mempertahankan produktivitas, dan kemanfaatannya bagi masyarakat dalam waktu yang tidak terbatas. Sistem demikian harus dapat mengkonservasikan sumberdaya, secara sosial didukung, secara ekonomi bersaing, dan secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanian Berkelanjutan mengutamakan pengelolaan ekosistem pertanian yang mempunyai diversitas atau keanekaragaman hayati tinggi. Menurut FAO Agricultural Biodiversity meliputi variasi dan variabilitas tanaman, binatang dan jasad renik yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi kunci ekosistem pertanian, struktur dan prosesnya untuk memperkuat/ dan memberikan sokongan pada produksi pangan dan keamanan pangan. (Ukabc, 2007) Ekosistem dengan kenekaragaman tinggi lebih stabil dan tahan gocangan, risiko terjadinya kerugian finansial lebih kecil, dapat mengurangi dampak bencana kekeringan dan banjir, melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit dan kendala alam lainnya. Diversifikasi juga dapat mengurangi cekaman ekonomi akibat peningkatan harga pupuk, pestisida dan input-input produksi lainnya. Ketahanan Pangan merupakan salah satu tujuan utama Pertanian Berkelanjutan.

Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan
Secara konseptual maupun historikal konsep Ketahanan Pangan merupakan bagian utama konsep Pertanian Berkelanjutan. Agenda 21 menyatakan bahwa Tujuan utama program Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (SARD) adalah meningkatkan produksi pangan dengan cara yang berkelanjutan serta memperkuat ketahanan pangan. Dalam Pertanian Berkelanjutan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dilaksanakan secara berkelanjutan dengan dampak yang seminimal mungkin bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat serta kualitas hidup penduduk di pedesaan. Program ini meliputi berbagai kegiatan mulai dari prakarsa pendidikan, pemanfaatan insentif ekonomi, pengembangan teknologi yang tepat guna hingga dapat menjamin persediaan pangan yang cukup dan bergizi, akses kelompok-kelompok rawan terhadap persediaan pangan tersebut, produksi untuk dilempar ke pasar, peningkatan pekerjaan dan penciptaan penghasilan untuk mengentaskan kemiskinan, serta pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan.
Peningkatan produksi pangan harus dilakukan dengan cara-cara yang berkelanjutan tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi, dan meminimalkan penggunaan dan ketergantungan pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan, mendukung kehidupan masyarakat pedesaan yang berkeadilan, meningkatkan kesempatan kerja serta menyediakan kehidupan masyarakat yang layak dan sejahtera, mengurangi kemiskinan dan kekurangan gizi, tidak membahayakan kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lahan pertanian, dan juga kesehatan konsumen produk-produk pertanian yang dihasilkan, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta selalu melestarikan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, memberdayakan dan memandirikan petani dalam mengambil keputusan pengelolaan lahan dan usaha taninya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya lokal dan kearifan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya alam.
Pendekatan Lintas Sektor
Secara eksplisit dan legal, kebijakan dan keputusan politik Pemerintah c.q. Departemen Pertanian mengenai Pertanian Berkelanjutan belum jelas dan tegas. Berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang telah diputuskan dan dijadwalkan oleh Agenda 21 tidak banyak yang kita laksanakan di lapangan. Penyebab utama adalah penerapan pendekatan sektoral yang sampai saat ini masih diikuti dan diterapkan secara ketat oleh jajaran birokrasi Pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah. Pendekatan parsial atau fraksional yang menyederhanakan masalah selalu kita lakukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul, termasuk masalah lingkungan hidup yang sangat kompleks dan multidimensi.
Agenda 21 dianggap sebagai agenda pembangunan lingkungan hidup maka yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan Agenda 21 adalah Kementerian Lingkungan Hidup bukan Departemen Pertanian dan departemen-departemen lainnya. Pendekatan yang egosektoral tersebut yang mengakibatkan banyak komitmen Indonesia pada banyak konvensi dan kesepakatan internasional tidak dapat dilaksanakan secara penuh di lapangan. Pendekatan egosektoral tersebut juga yang menyebabkan dalam era persaingan global saat ini, Indonesia selalu ketinggalan dan belum memperlihatkan komitmen tinggi terhadap berbagai kesepakatan global. Konsep Pembangunan Berkelanjutan termasuk Pertanian Berkelanjutan mengharuskan kita meninggalkan pendekatan egosektoral serta menerapkan dan mengembangkan pendekatan terpadu, lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu.
Seandainya Indonesia sesuai dengan komitmennya melaksanakan semua rekomendasi, kegiatan dan agenda yang ditetapkan oleh Agenda 21 tahun 1992, kemungkinan besar berbagai carut marut produksi pangan dan ketahanan pangan yang kita alami saat ini tidak terjadi. Disarankan agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku kepentingan pertanian lainnya (industri, swasta, petani, NGO, akademisi, peneliti, dll) mempelajari kembali Agenda 21 khususnya Chapter 14 tentang SARD serta menyepakati untuk segera memperbarui komitmen kita melaksanakan semua kebijakan dan program SARD pada semua aras keputusan, mulai dari tataran kebijakan sampai tataran pelaksanaan lapangan.

Departemen Pertanian dan Pangan
Tebalnya dinding-dinding sektor pertanian dan ketahanan pangan khususnya diurusi oleh banyak sektor dan subsektor atau oleh beberapa departemen dan lembaga non departemen, semakin menyulitkan koordinasi dan keterpaduan. Sistem pengelolaan ketahanan pangan menjadi tidak efektif dan efisien, banyak pemborosan, tumpang tindih dan ketidak-paduan. Departemen Pertanian saat ini tugas utamanya terutama dalam peningkatan produksi tanaman pangan on farm namun urusan penyediaan dan distribusi pangan dilaksanakan oleh lembaga lain (Bulog). Urusan perdagangan domestik dan internasional dilaksanakan oleh Departemen Perdagangan. Masalah pencemaran lingkungan pertanian merupakan urusan Kementerian LH, masalah mutu dan keamanan pangan sebagian diurui oleh Badan POM dan masih banyak kasus ketidakpaduan lainnya.
Pertanian dan pangan sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga diusulkan untuk waktu mendatang kedua bidang atau urusan tersebut dikelola oleh satu lembaga Pemerintah, baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Di tingkat pusat lembaga tersebut adalah Departemen Pertanian dan Pangan atau Departemen Pangan dan Pertanian . Di tingkat daerah adalah Dinas Pertanian dan Pangan atau Dinas Pangan dan Pertanian .. Lembaga ini yang mengurusi pertanian dan pangan sejak dari hulu sampai hilir, dari penyiapan lahan sampai pengolahan dan pemasaran dan perdagangn hasil pertanian.

Ketahanan Pangan Lokal
Indonesia dikaruniai Tuhan dengan keanekaragaman hayati, ekosistem, budaya yang sangat tinggi, satu lokasi berbeda dari lokasi-lokasi lainnya. Kemampuan dan keberadaan biodiversitas pertanian lokal harus dimanfaatkan dan dikembangkan guna meningkatkan dan mempertahankan ketahanan pangan dari aras lokal, daerah dan nasional. Penyeragaman kebijakan, rekomendasi dan praktek pertanian konvensional yang diberlakukan untuk semua kondisi lokal tidak tepat untuk mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat, termasuk peningkatan ketahanan pangan. Teknologi pertanian yang diterapkan harus disesuaikan dengan kemampuan kondisi lokal dalam menopang penerapan suatu teknologi. Berbagai teknologi dan kearifan lokal yang dikembangkan dan diterapkan masyarakat lokal termasuk dalam meningkatkan produksi dan kualitas pangan perlu dipertahankan dan diperbaiki kualitasnya. Bila setiap masyarakat lokal dapat meningkatkan ketahanan pangannya sesuai dengan kondisinya masing-masing, secara agregatif ketahanan pangan nasional yang lebih mantap dan berjangka panjang akan tercapai.
Untuk itu diperlukan kemauan politik dan komitmen pemerintah yang kuat terhadap penerapan konsep pertanian berkelanjutan. Sektor pertanian seharusnya menjadi sektor andalan pembangunan di Indonesia mengingat lebih dari 60% penduduk Indonesia hidup di pedesaan dan bergantung dari sektor pertanian. Seharusnya dunia Industri yang mendukung konsep pembangunan pertanian secara berkelanjutan sesuai dengan karakternya yang beranekaragam, bukan sebaliknya pembangunan pertanian yang mengikuti pendekatan industrial yang cenderung pada keseragaman dan efisiensi produksi.
Pemberdayaan Petani
Petani yang seharusnya menjadi pelaksana dan subyek utama pembangunan pertanian di Indonesia saat ini sedang dalam keadaan yang tidak berdaya, tidak mandiri dan sangat tergantung pada pihak-pihak lain. Ketergantungan mereka terutama dengan program dan bantuan Pemerintah, dengan dunia swasta dalam memperoleh input produksi seperti benih, pupuk dan pestisida, dengan para tengkulak dalam penyediaan uang tunai. Mereka tidak mampu menentukan apa yang harus mereka lakukan. Program-program pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung semakin meningkatkan ketergantungan mereka pada pemerintah. Karena ketergantungan dan ketidakberdayaan tersebut berbagai potensi manusiawi petani seperti inisiatif, kreativitas, inovasi, kearifan lokal menjadi semakin menghilang dan tidak berkembang. Berbagai kendala dan keterbatasan yang ada pada petani kita seperti, kualitas SDM, kepemilikan lahan dan modal, akses terhadap pasar dan informasi mengakibatkan petani tetap dalam posisi menjadi obyek pembangunan bukan sebagai subyek dan penentu pembangunan pertanian.
Semua pihak terutama Pemerintah dan dunia swasta agar menerima, mengakui, menghargai dan memfasilitasi hak petani untuk mandiri dan berdaya dalam mengambil keputusannya sendiri. Merekalah yang paling tahu apa yang diperlukan dan paling baik dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka dalam kondisi sosial budayanya masing-masing.. Tentang program pemberdayaan petani di pedesaan Agenda 21 membuat Bab khusus yaitu Chapter 32 dengan judul " Strengthening the role of farmers" atau Memperkuat Peran Petani.
Petani melalui berbagai organisasi swadaya petani menuntut agar mereka ikut serta dalam setiap pengambilan keputusan tentang bagaimana tanaman pangan dibudidayakan, diolah, diperdagangkan dan bagaimana manfaat yang diperoleh dari sistem pangan dunia/nasional/lokal dapat di bagikan secara adil. Kecenderungan dan keinginan kelompok-kelompok petani mandiri seluruh dunia (termasuk Indonesia) tersebut bertujuan untuk mengubah konsep Ketahanan Pangan (Food Security) yang dianggap berorientasi pada kepentingan pemerintah menjadi konsep Kedaulatan Pangan (Food Sovereignity) perlu ditanggapi Pemerintah secara arif bijaksana.
Permasalahan yang kita hadapi sekarang masih sangat sedikit petani Indonesia yang telah sadar dan mampu menuntut hak kedaulatan pangan yang mereka inginkan. Sebagian besar petani pangan masih terkukung dan tercekam dlam ketidakberdayaannya sehingga mereka hanya menunggu uluran dan inisiatif pihak-pihak lain terutama pemerintah. Merka tidak mampu keluar dari cekaman ketidakberdayaan tersebut atas usahanya sendiri.
Pemerintah dan pihak-pihak lain termasuk pihak swasta dan Perguruan Tinggi perlu membantu dan memfasilitasi usaha-usaha untuk mendorong kemandirian petani dan kelompok tani dengan metode pendidikan dan pelatihan petani yang sesuai dan efektif. Dari pengalaman Indonesia dan negara-negara berkembang lain dalam melaksanakan pelatihan petani secara partisipatori melalui sistem Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang benar, maka kemandirian, profesionalisme dan kepercayaan diri petani dapat dihidupkan dan dikembangkan kembali. Dengan petani yang mandiri dan profesional serta berani mengambil keputusan dalam menerapkan konsep Pertanian Berkelanjutan, ketahanan pangan lokal dan nasional yang mapan dan berlanjut dapat dicapai.

Kesimpulan dan Saran
  1. Praktek pertanian konvensional yang boros energi tak terbarukan di samping membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat juga tidak mencapai sasaran ketahanan pangan secara mantap dan berlanjut.
  2. Pertanian Berkelanjutan adalah pertanian yang layak ekonomi, secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial diterima, berkeadilan, dan secara sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan secara holistik.
  3. Ketahanan Pangan yang berkelanjutan merupakan tujuan utama Pembangunan Berkelanjutan. Ketahanan pangan dengan memanfaatkan keanekaragaman pertanian lokal akan membentuk ketahanan pangan nasional yang mantap dan berjangka panjang.
  4. Indonesia seharusnya konsisten dengan komitmennya dalam melasanakan semua program yang terinci dalam dokumen Agenda 21, termasuk tentang Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan.
  5. Untuk mengurangi ketidakpaduan antar sektor yang menangani pertanian dan pangan diusulkan pembentukan Departemen Pertanian dan Pangan.
  6. Semua pihak terkait agar memberikan perhatian, dukungan dan dorongan dalam usaha pemberdayaan petani serta menempatkan posisi mereka sama dan sejajar dengan pihak-pihak lain, sebagai pelaksana dan penentu keputusan program peningkatan produksi pertanian termasuk ketahanan pangan.

Daftar Acuan
United Nations, 1997. Earth Summit Agenda 21. The United Nations Programme of Action from Rio. 297 pp.
Pierce,D.A., Markandya and E.B. Barbier, 1994. Blueprint for a Green Economy/ Earthscan Publ.Ltd. London, 192 pp.
Thrupp, L.A. (ed),1996. New Partnerships for Sustainable Agriculture. World Resource Institute New York. 136 pp.
UKabc, 2007. Agricultural Biodeiversity for Food and Livelihood Security and Food Sovereignity, Didownload dari http://www.ukabc.org/ pada 4/10/2007.

0 Responses to “PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN”

Posting Komentar