Kamis, 22 Desember 2011

TEKNIK KULTUR JARINGAN



LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK KULTUR JARINGAN


STERILISASI DAN PENANAMAN EKSPLAN KENTANG






DISUSUN OLEH :

Muhammad Ali Alfi
E1J010089


  
PROGRAM STUDI AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2011




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Perbanyakan tanaman mengunakan organ generatif maupun vegetatif konvensional biasanya tidak ekonomis, sebab selain tidak dapat menyediakan bibit yang banyak juga menghasilkan variabilitas karekater tanaman yang sangat tinggi. Selain itu perbedaan jumlah kromosom, merupakan masalah tersendiri (Sihachakr et al., 1996). Umumnya tanaman mudah diserang penyakit baik yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur yang menyebabkan menurunnya jumlah maupun kualitas produksi.
Untuk itu, diperlukan suatu teknologi alternatif yang dapat mempercepat penyediaan bibit bagi masyarakat luas. Dalam hal ini teknik kultur jaringan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif yang dapat ditempuh karena teknik ini dapat memperbanyak bibit dalam jumlah banyak, relatif cepat, dan seragam (Supriati, dkk., 2006).
Dalam upaya perbanyakan tanaman melalui teknik kultur in vitro, diperlukan adanya kecocokan medium tanam dan penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT), balk jenis maupun konsentrasi ZPT. Kecocokan tersebut diperlukan untuk mencapai keberhasilan baik dalam upaya pembentukan tunas maupun pembentukan akar pada eksplan yang ditanam.
Keragaman genetik yang tinggi merupakan salah satu faktor penting untuk merakit varietas unggul baru. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan memanfaatkan plasma nutfah yang tersedia di alam dan dapat pula dengan melakukan persilangan. Sifat-sifat tertentu sering tidak ditemukan pada sumber gen yang ada sehingga teknologi lainnya perlu diterapkan (Hutami, dkk., 2006). Bioteknologi tanaman pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu kultur in vitro dan rekombinasi DNA. Perbaikan genetik tanaman melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain peningkatan keragaman somaklonal, penyelamatan embrio, fertilisasi in vitro, kultur haploid, dan fusi protoplas (hibridisasi somatik) (Mariska, dkk., 2006)
Menurut Wattimena (2000), dalam perbanyakan mikro ada dua teknik yang telah dikembangkan untuk memproduksi propagul kentang, yaitu stek mikro dan umbi mikro. Stek mikro berasal dari perbanyakan stek buku tunggal pada media MS tanpa ZPT. Media yang digunakan untuk pengumbian adalah satu macam media (padat atau cair) dan dua macam media (padat-cair atau cair-cair, yang dianjurkan adalah sistem cair-cair. Hasil penelitian Wattimena (1983) menunjukkan bahwa media cair untuk pengumbian secara in vitro akan menghasilkan umbi dengan ukuran, bobot basah, dan persentase bahan kering yang lebih tinggi daripada penggunaan media padat.
Hussey dan Stacey (1981) mendapatkan laju perpanjangan dan penebalan batang, jumlah buku, dan morfologi tunas mikro dipengaruhi oleh panjang hari, intensitas cahaya dan suhu. Batang tunas mikro kentang yang terbentuk semakin tebal dan pendek apabila semakin lama penyinaran. Batang yang tebal dan pendek lebih muda disubkultur daripada batang yang panjang dan kurus. Selain itu, menurut Roca, Espinoza, Roca, dan Bryan (1978), serta Thorton dan Knutson (1986) lama penyinaran yang dipergunakan untuk perbanyakan tunas mikro kentang adalah 16 jam per hari.

1.2  Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
J  Mengetahui cara pembuatan media tanam kultur jaringan.
J  Mengetahui cara perbanyakan stek mikro kentang guna mendapatkan propagul kentang unggul bermutu bebas penyakit.
J  Mengetahui cara sub kultur tunas mikro kentang.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung yang mendapatkan prioritas dalam pengembangannya di Indonesia. Sebagai salah satu bahan pangan yang mengandung karbohidrat, mineral, dan vitamin yang cukup tinggi, kentang dapat menggantikan bahan panganm karbohidrat yang berasal dari beras, gandum, atau jagung tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Di Indonesia kentang dikelompokkan dalam komoditas sayuran, dan merupakan salah satu komoditas yang mendapat prioritas dalam program penelitian dan pengembangan sayuran. Selain itu, kentang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sumber karbohidrat dalam menunjang program diversifikasi pangan, komoditas ekspor non-migas dan bahan baku industri pengolahan (Asandhi, 1996; Sahat, 1996).
Kultur jaringan merupakan tehnik menumbuh kembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan, atau organ dalam kondisi aseptic secara in-vitro. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dengan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu pencahayaannya terkontrol. Perkembangan teknik kultur jaringan tanaman berpijak pada satu konsep dasar yang disebut totipotensi, yaitu suatu sifat dari sel-sel tanaman yang pada kondisi sesuai mempunyai kemampuan untuk beregenerasi menjadi tanaman utuh.
Aplikasi teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan bibit telah banyak memberikan keuntungan terutama pada tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan dengan faktor multiplikasi yang cukup tinggi. Bibit varietas unggul yang mampu bersaing di pasar Internasional baik segi kualitas maupun kuantitas dan jumlahnya sangat sedikit dapat segera dikembangkan melalui kultur jaringan (Mariska, dkk., 2004).
“Faktor yang mempengaruhi regenerasi tanaman secara in vitro telah dilaporkan antara lain: spesies tanaman, tekanan osmotik pada medium (konsentrasi sukrosa), intensitas cahaya, dan konsentrasi zat pengatur tumbuh pada medium (Lai et al. 2000, Prahardini dan Sudaryono 1992, Sunyoto et al. 2002). Menurut Ritchie dan Hodges (1993) komposisi media merupakan kondisi yang penting dalam kultur tanaman secara in vitro. Komponen media meliputi unsur hara makro, mikro, sumber karbon, vitamin, dan zat pengatur tumbuh. Setiap genotipe tanaman memiliki respon pertumbuhan yang berbeda meskipun ditumbuhkan pada media kultur yang sama, demikian juga dengan sumber eksplan tanaman sehingga diperlukan optimasi kondisi yang sesuai untuk masing-masing genotype dan sumber eksplan. hampir semua tanaman yang berasal dari kultur jaringan karena lapisan kutikula pada daun masih tipis, stomata belum berfungsi secara normal, serta hubungan jaringan pembuluh batang dan akar yang belum sempurna” (Damayanti et. al., 2007).
Menurut Wattimena (2000), dalam perbanyakan mikro ada dua teknik yang telah dikembangkan untuk memproduksi propagul kentang, yaitu stek mikro dan umbi mikro. Stek mikro berasal dari perbanyakan stek buku tunggal pada media MS tanpa ZPT. Media yang digunakan untuk pengumbian adalah satu macam media (padat atau cair) dan dua macam media (padat-cair atau cair-cair, yang dianjurkan adalah sistem cair-cair. Hasil penelitian Wattimena (1983) menunjukkan bahwa media cair untuk pengumbian secara in vitro akan menghasilkan umbi dengan ukuran, bobot basah, dan persentase bahan kering yang lebih tinggi daripada penggunaan media padat.


BAB III

METODOLOGI


3.1 Bahan dan Alat                          
Bahan yang digunakan pada kegiatan ini adalah bahan kimia penyusun media MS-0, stek mikro kentang yang sudah steril, alcohol, aquades steril dan spritus.
Alat yang dipakai antara lain : peralatan gelas (gelas piala, Erlenmeyer, gelas ukur, pipet ukur, labu takar,  petridish, timbangan analitik, pH meter, hot plate, autoclave, botol kultur, aluminium foil, (Laminar Airflow Cabinet) LAC, handsprayer, peralatan tanam (pinset, gunting, scapel + mata scapel), kertas saring dan ruang kultur (rak kultur, thermometer, dan AC).

3.2 Cara Kerja
Adapun cara kerja yang kami lakukan pada acara ini adalah sebagai berikut :
1.      Pembuatan Media MS:
J  Meyiapkan bahan kimia penyusun media MS.
J  Membuat larutan stok bahan kimia tersebut sesuai dengan petunjuk cara pembuatan larutan stok.
J  Memipet larutan stok sesuai dengan kebutuhan media siap pakai (misalnya per 1 liter media siap pakai).
J  Mengukur pH sekitar 5,8-6, setelah itu tambahkan agar sebanyak 7-8 gr/L.
J  Memasak media tersbut sampai mendidih, lalu dibagikan kedalam botol kultur yang sudah steril sebanyak 20 ml per botol.
J  Mengautoclavekan media tersebut selama 20-30 menit agar media tanam tersebut steril.
J  Menginkubasikan media tersebut minimal 3 hari sebelum tanam.
2.      Penanaman / sub kultur:
J  Penanaman dilakukan didalam LAC.
J  Menyeterilkan peralatan tanam, petridish dan kertas saring dalam oven suhu 100 0C selama minimal 1 jam.
J  Setiap botol ditanam ditanam 10 stek mikro 1 ruas.
J  Menutup kembali botol dengan rapat supaya botol tetap steril.
J  Menyimpan botol yang sudah ditanam pada rak-rak dalam ruang kultur.
3.      Pengamatan.
Pengamatan dilakukan setiap seminggu sekali selama 4 minggu mulai dari saat penanaman (MST) terhadap peubah-peubah sebagai berikut:
J  Saat tumbuh tunas.
J  Jumlah tunas per botol.
J  Jumlah ruas per botol.
J  Jumlah daun per botol.
J  Tinggi tunas tertinggi.
J  Saat tumbuh akar.
J  Jumlah akar per botol.
J  Panjang akar terpanjang.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1  Hasil Pegamatan
Data Tabel Hasil Pengamatan Tanaman  Kentang di Sub Kulturkan
Peubah
Minggu Setelah Tanam (MST)
I
II
III
IV
Saat tumbuh tunas
Jumlah tunas perbotol
Jumlah daun perbotol
Saat tumbuh akar
Jumlah akar perbotol
Panjang akar terpanjang
Tinggi tunas tertinggi
√*
2*
8*
√*
6*
± 4 *cm
± 6 *cm
Tanaman mati dan media terkontaminasi.
Tanaman mati dan media terkontaminasi
Tanaman mati dan media terkontaminasi

Tanggal penanaman                : 12 Desember 2009
Pengamatan pertama tanggal 19 Des 2009.
Pengamatan ke dua tanggal 28 Januari 2010
Keterangan :
*    :  Media terkontaminasi ditumbuhi jamur, mulai dari media pada dinding kultur. Warna jamur putih keabuan berbentuk gumpalan-gumpalan putih keabuan.

4.2  Pembahasan
Aplikasi teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan bibit telah banyak memberikan keuntungan terutama pada tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan dengan faktor multiplikasi yang cukup tinggi.
Tanaman kentang adalah tanaman yang sangat mudah untuk dikulturkan karena dari setiap ruas batang kentang akan tumbuh akar-akar seingga tanaman ini mudah tumbuh pada media tanam yang digunakan. Dari hasil pengamatan yang kami lakukan dari percobaan dapat diketahui bahwa pada awalnya pertumbuhan tanaman kentang sangat begus, semua variable yang diamati semuanya tumbuh dan berkembang dengan baik. Tapi media terkontaminasi oleh jamur mulai dari media pada dinding kultur. Warna jamur putih keabuan berbentuk gumpalan-gumpalan putih keabuan. Sedangkan planlet kentang tidak kontam. Pada botol ke dua pertumbuhan kentang pada minggu pertama sangat baik dan tidak terjadinya kontaminasi.
Pada pengamatan selanjutnya, semua planlet kentang mati dan terkontaminasi oleh jamur. Semua permukaan media telah ditumbuhi jamur. Tanaman kentang yang berada dalam botol kultur akhirnya mati semua diperkirakan sejak minggu kedua.
Penyebab kematian dan terkontaminasinya planlet kentang oleh jamur, kemungkian tersebesar adalah saat penutupan dengan plastic penutup tidak semuanya rapat sehingga mungkin ada pengkontaminan yang masuk dan menyerang eksplan sehingga tanaman juga mati. Dan juga karena media yang kurang steril karena hamper semua praktikan medianya mterkontaminasi. Selain itu juga tidak adanya cahaya di ruang tanam karena listrik di Laboratorium Agronomi mengalami kerusakan selama hampir 1 minggu. Cahaya merupakan faktror yang mempengaruhi regenerasi tanaman secara in vitro. Apabila cahaya tidak ada maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak bisa berlangsung.





BAB V

PENUTUP


5.1  KESIMPULAN
J  Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan dengan faktor multiplikasi yang cukup tinggi.
J  Pada awalnya pertumbuhan tanaman kentang sangat bagus hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan semua variable yang baik. Tetapi sayangnya media pada pengamatan minggu pertama sudah terserang oleh jamur.
J  Media harus benar-benar steril. Cahaya merupakan faktror yang mempengaruhi regenerasi tanaman secara in vitro. Apabila cahaya tidak ada maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak bisa berlangsung dan eksplan kita akan terkontaminasi.
























DAFTAR PUSTAKA

Maharijaya, Awang. 2008. Beberapa kemajuan penerapan bidang bioteknologi pada tanaman. http://awangmaharijaya.wordpress.com/2008/02/28/kemajuan-penerapan-bidang-bioteknologi-pada-tanaman/. 22 Desember 2008.

Marlin, Usman. K.J.S, dan Atra Romeida. 2008. Penuntun Praktikum Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Bengkulu, UNIB.

Rahmadhaniar, Yetti. 2007. Pertumbuhan Tanaman Dan Pembentukan Umbi Mikro Kentang Pada Suhu Inkubasi, Nitrogen Dan Chlorocholine Chloride (Ccc) Yang Berbeda. http:// bgonggo@2007.com 22 Desember 2008
 
DAFTAR PUSTAKA

Maharijaya, Awang. 2008. Beberapa kemajuan penerapan bidang bioteknologi pada tanaman. http://awangmaharijaya.wordpress.com/2008/02/28/kemajuan-penerapan-bidang-bioteknologi-pada-tanaman/. 22 Desember 2008.

Marlin, Usman. K.J.S, dan Atra Romeida. 2008. Penuntun Praktikum Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Bengkulu, UNIB.

Rahmadhaniar, Yetti. 2007. Pertumbuhan Tanaman Dan Pembentukan Umbi Mikro Kentang Pada Suhu Inkubasi, Nitrogen Dan Chlorocholine Chloride (Ccc) Yang Berbeda. http:// bgonggo@2007.com 22 Desember 2008

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK KULTUR JARINGAN


AKLIMATISASI KENTANG





DISUSUN OLEH :

OUKE PURNAMASARI
E1A006026





PROGRAM STUDI AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2009
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Perbanyakan tanaman mengunakan organ generatif maupun vegetatif konvensional biasanya tidak ekonomis, sebab selain tidak dapat menyediakan bibit yang banyak juga menghasilkan variabilitas karekater tanaman yang sangat tinggi. Selain itu perbedaan jumlah kromosom, merupakan masalah tersendiri (Sihachakr et al., 1996). Umumnya tanaman mudah diserang penyakit baik yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur yang menyebabkan menurunnya jumlah maupun kualitas produksi.
Untuk itu, diperlukan suatu teknologi alternatif yang dapat mempercepat penyediaan bibit bagi masyarakat luas. Dalam hal ini teknik kultur jaringan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif yang dapat ditempuh karena teknik ini dapat memperbanyak bibit dalam jumlah banyak, relatif cepat, dan seragam (Supriati, dkk., 2006).
Dalam upaya perbanyakan tanaman melalui teknik kultur in vitro, diperlukan adanya kecocokan medium tanam dan penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT), balk jenis maupun konsentrasi ZPT. Kecocokan tersebut diperlukan untuk mencapai keberhasilan baik dalam upaya pembentukan tunas maupun pembentukan akar pada eksplan yang ditanam.
Untuk mendapatkan umbi mikro kentang yang bermutu dalam waktu yang relatif pendek perlu pemberian zat pengatur tumbuh pada media, karena pembentukan umbi mikro secara in vitro tergantung dari nisbah zat tumbuh pendorong dan penghambat pengumbian. Nisbah ini dapat dilakukan dengan pemberian pendorong, mengurangi penghambat, atau kombinasi keduanya. Zat penghambat tumbuh yang berperan dalam pengumbian diantaranya adalah coumarin dan aspirin, sedangkan zat pendorongnya adalah sitokinin (Sakya, dkk., 2002).

1.2  Tujuan
Membandingkan pengaruh bahan kimia dalam menekan pertumbuhan eksplan tanaman kentang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung yang mendapatkan prioritas dalam pengembangannya di Indonesia. Sebagai salah satu bahan pangan yang mengandung karbohidrat, mineral, dan vitamin yang cukup tinggi, kentang dapat menggantikan bahan panganm karbohidrat yang berasal dari beras, gandum, atau jagung tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Di Indonesia kentang dikelompokkan dalam komoditas sayuran, dan merupakan salah satu komoditas yang mendapat prioritas dalam program penelitian dan pengembangan sayuran. Selain itu, kentang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sumber karbohidrat dalam menunjang program diversifikasi pangan, komoditas ekspor non-migas dan bahan baku industri pengolahan (Asandhi, 1996; Sahat, 1996).
Kultur jaringan merupakan tehnik menumbuh kembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan, atau organ dalam kondisi aseptic secara in-vitro. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dengan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu pencahayaannya terkontrol. Perkembangan teknik kultur jaringan tanaman berpijak pada satu konsep dasar yang disebut totipotensi, yaitu suatu sifat dari sel-sel tanaman yang pada kondisi sesuai mempunyai kemampuan untuk beregenerasi menjadi tanaman utuh.
Aplikasi teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan bibit telah banyak memberikan keuntungan terutama pada tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan dengan faktor multiplikasi yang cukup tinggi. Bibit varietas unggul yang mampu bersaing di pasar Internasional baik segi kualitas maupun kuantitas dan jumlahnya sangat sedikit dapat segera dikembangkan melalui kultur jaringan (Mariska, dkk., 2004).
Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik yang bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat dan merubah proses fisiologi tumbuhan (Abidin, 1995). Auksin dan sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Menurut Wattimena (1992) auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan. Auksin mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal dan pembentukan kalus. Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01 – 10 ppm
Aplikasi teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan bibit telah banyak memberikan keuntungan terutama pada tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan dengan faktor multiplikasi yang cukup tinggi. Bibit varietas unggul yang mampu bersaing di pasar internasional baik segi kualitas maupun kuantitas dan jumlahnya sangat sedikit dapat segera dikembangkan melalui kultur jaringan. Pada umumnya produksi bibit melalui teknik kultur jaringan memerlukan beberapa tahapan, yaitu tahap pertunasan, tahap elongasi, tahap pengakaran, dan tahap aklimatisasi. Pada setiap tahap diperlukan nisbah antara zat pengatur tumbuh sitokinin terhadap auksin yang berbeda. (George dan Sherington 1984; Hobir et al. 1993). Pada tahap multiplikasi tunas, zat pengatur tumbuh sitokinin lebih banyak berperan dibandingkan dengan auksin. Sebaliknya untuk memicu terjadinya inisiasi dan proliferasi akar, maka akan lebih banyak ditekankan pada penggunaan zat pengatur tumbuh auksin (Mariska, dkk., 2004).
Dalam kultur in vitro laju regenerasi jaringan dapat ditingkatkan melalui pengaturan formulasi media. Daya regenerasi yang tinggi pada tahap pertunasan sangat diperlukan dalam teknik perbanyakan in vitro. Berdasarkan jumlah kelipatan tunas (multiplikasi) yang dapat dihasilkan dari setiap periode subkultur, jumlah planlet yang dapat dihasilkan pada satuan waktu tertentu dapat diperkirakan (Pennell 1987). Selanjutnya dikatakan bahwa semakin banyak dan semakin cepat tunas dihasilkan maka semakin tinggi tingkat efisiensi yang dapat dicapai
Naphthalene Acetic Acid (NAA) adalah auksin sintetik yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempunyai sifat lebih stabil daripada Indol Acetic Acid (IAA). Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) IAA dapat mengalami degradasi yang disebabkan adanya cahaya atau enzim oksidatif. Oleh karena sifatnya yang labil IAA jarang digunakan dan hanya merupakan hormon alami yang ada pada jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Sedangkan NAA tidak mudah terurai oleh enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi (Mariska, dkk., 2004).
Sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang berperan dalam mengatur pembelahan sel serta mempengaruhi diferensiasi tunas pada jaringan kalus salah satunya adalah kinetin yang dapat merangsang pembentukan akar dan pembentukan tunas. Berdasarkan kebutuhan zat pengatur tumbuh untuk pembentukan kalus, maka dalam media tanam perlu ditambahkan auksin dan sitokinin. Interaksi kedua zat ini mempengaruhi pertumbuhan, morfogenesis dalam kultur sel, kultur jaringan dan organ. Konsentrasi dari kedua zat pengatur tumbuh ini sering mengendalikan bentuk dan jumlah pertumbuhan suatu kultur, baik pertumbuhan kalus atau organogenesis (Wulandari, dkk., 2004)
Produksi bibit atau benih merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pengembangan suatu jenis tanaman. Bibit dari suatu varietas unggul yang dihasilkan pemulia tanaman jumlahnya terbatas, sedangkan bibit tanaman yang dibutuhkan petani jumlahnya sangat banyak. Dengan demikian, sejak suatu varietas dilepas sampai varietas tersebut dapat ditanam petani waktunya cukup lama. Untuk pengadaan bibit secara besar-besaran dalam waktu yang singkat akan sulit dicapai dengan pemakaian teknik konvensional biasa. Untuk itu, diperlukan cara dan metode baru yang dapat mengatasi masalah yang ada dalam peningkatan efisiensi produksi tanaman. Salah satu teknologi alternatif yang banyak digunakan saat ini adalah teknologi kultur jaringan.
Dalam memproduksi tanaman kultur jaringan tahapan yang paling akhir dilakukan aklimatisasi tanamn kentang. Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. 



BAB III

METODOLOGI


3.1 Bahan dan Alat                          
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah: stek mikro tanaman kentang yang telah berakar sepanjang 1-2 cm. Bahan kimia yang diperlikan adalah pasir, tanah, pupuk NPK, larutan hara Murashige and Skoog (MS), dan pestisida (Agrept, Benlate). Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini meliputi pinset panjang, polibag, ember, aqua cup, pisau kecil, dan timbangan.

3.2 Cara Kerja
  1. Mengeluarkan stek mikro yang telah berakar dari botol dengan menggunakan pinset panjang.
  2. Membersihkan sisa agar dengan hati-hati agar tidak ada akar yang terputus dengan cara mencuci akar tersebut di air.
  3. menyiapkan aqua cup berisi media steril campuran tanah dan pupuk kandang dengan prbandingan 1:1 (w\w). dilubangi dasar aqua cup dengan paku kecil.
  4. menyiapkan larutan media MS dengan menimbang unsure hara makro dan unsure hara mikro MS. Diencerkan larutan MS dimaksud 10 x.
  5. siram media di aqua bcup dengan unsure hara MS hingga mencapai kapasitas lapang.
  6. menutup aqua cup yang berisi stek mikro dengan aqua cup yang lain. Merapatkan dua mulut aqua cup dengan stepler dan selotip.
  7. menempatkan tanamn di bawah rumah kaca dengan tingkat naungan 50%.
  8. pada hari ke-7, dibuat satu lubang di aqua cup penutup. Pada hari ke-10, dibuat satu lubang di aqua cup penutup.
  9. siapkan larutan garam media MS dengan factor pengeceran 20x
  10. menyiram tanaman tiap 2 hari dengan larutan garam MS berkekuatan 1/20x hingga tanaman berumur 21 hari.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1  Hasil Pegamatan
Data Tabel Hasil Pengamatan Aklimatisasi Kentang (Solanum tuberosum)
Peubah
Minggu Setelah Tanam (MST)
I
II
III
IV
Jumlah daun
Terbentuk akar
Tinggi tanaman
Jumlah umbi
Diameter umbi
Bobot basah umbi
0
0
0
0
0
0
Tanaman mati dan media terkontaminasi
Tanaman mati dan media terkontaminasi

Tanggal penanaman                : 12 Desember 2008
Pengamatan pertama tanggal 19 des 2008.
Pengamatan ke dua tanggal 7 Januari 2009

4.2  Pembahasan
Aplikasi teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan bibit telah banyak memberikan keuntungan terutama pada tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan dengan faktor multiplikasi yang cukup tinggi. Dalam memproduksi tanaman kultur jaringan tahapan yang paling akhir dilakukan aklimatisasi tanamn kentang. Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif.
Pada kegiatan ini banyak hal yang sangat menentukan keberhasilan dari aklimatisasi suatu tanaman yang paling utama adalah perawatan. Aspek ini sangat penting karena dengan perawatan yang intesif maka kita akan mengetahui kondisi yang sesuai untuk tanaman yang kita aklimatisasikan, selain itu dengan perawatan yang baik maka tanaman aklimatisasi akan terjaga dan tidak kuatir serangan hama dan penyakit atau kekurangan hara.
Selain itu kita juga harus mengetahui media apa yang sesuai untuk tanaman yang kita aklimatisasikan, karena media juga sangat berperan dalam mensuplai hara atau udara. Media tumbuh yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tidak lekas melapuk, tidak menjadi sumber penyakit, mempunyai aerasi baik, mampu mengikat air dan zat-zat hara secara baik, mudah didapat dalam jumlah yang diinginkan dan relatif murah harganya. Untuk pertumbuhan tanaman kentang, kemasaman media (pH) yang baik berkisar antara 5–6. Media tumbuh sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi bunga optimal, sehingga perlu adanya suatu usaha mencari media tumbuh yang sesuai. Karena begitu pentingnya media ini maka kita harus memperhatikan bahan ini.
Dari pengamatan yang telah dilakuakan didapat hasil yaitu bahwa pada planlet yang dipotong-potong dan sebelum di tanaman di media pasir direndam terlebih dahulu dengan larutan B. Pada pengamatan minggu pertama tanaman masih hijau tidak tumbuh tunas maupun akar. Tanaman yang hidup hanya 4 dan yang satunya mati. Pada pengamatan selanjutnya yaitu pada minggu ke-3 setelah tanam potongan planlet tersebut mati dan terkontaminasi oleh jamur, dan cuma satu yang hidup. Tanaman yang hidup akarnya tumbuh dan banyak, sedangkan tunas tidak terbentuk. Kematian tanaman disebabkan oleh tanaman tersebut sudah dari awal sebelum diaklimatisasi sudah terkontaminasi dengam jamur, sehingga tumbuhnya tidak optimal, dan akhirnya terkontaminasi. Tanaman yang hidup tersebut menggambarkan bahwa sebelum ditama di media pasir direndam dengan larutan NAA dari golongan auksi. Seperti yang kita ketahui bahwa auksin bekerja memacu pembentukan akar/kalus. Berbeda halnya dengan kinetin yang merupakan golongan dari sitokinin, yang fungsinya berkebalikan dengan kerja auksi, yaitu memacu pertumbuhan tunas.






BAB V

PENUTUP


5.1  KESIMPULAN
J  Larutan yang digunakan sebelum penanaman adalah NAA golonga auksin. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan kalus/akar dan tunas tidak terbentuk.
J  Konsentrasi dari kedua zat pengatur tumbuh ini yaitu auksi dan sitokinin sering mengendalikan bentuk dan jumlah pertumbuhan suatu kultur, baik pertumbuhan kalus atau organogenesis
J  Media harus benar-benar steril. Cahaya merupakan faktror yang mempengaruhi regenerasi tanaman secara in vitro. Apabila cahaya tidak ada maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak bisa berlangsung dan eksplan kita akan terkontaminasi.








09.24 by Muhammad Ali Alfi · 1

PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN



PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN
PENERAPAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN


Latar Belakang Masalah 
Pendekatan dan praktek pertanian konvensional yang dilaksanakan di sebagian besar negara maju dan negara sedang berkembang termasuk Indonesia merupakan praktek pertanian yang tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertanian konvensional dilandasi oleh pendekatan industrial dengan orientasi pertanian agribisnis skala besar, padat modal, padat inovasi teknologi, penanaman benih/varietas tanaman unggul secara seragam spasial dan temporal, serta ketergantungan pada masukan produksi dari luar yang boros energi tak terbarukan, termasuk penggunaan berbagai jenis agrokimia (pupuk dan pestisida), dan alat mesin pertanian. Secara teoritis dan perhitungan ekonomi penerapan pertanian konvensional dianggap sebagai alternatif teknologi yang tepat untuk menyelesaikan masalah kekurangan pangan dan gizi serta ketahanan pangan yang dihadapi penduduk dunia.
Setelah sekitar setengah abad kita menerapkan dan mengembangkan pertanian konvensional, sederetan daftar panjang dampak negatif telah dilaporkan dan dikemukakan oleh berbagai lembaga, peneliti dan perseorangan pada aras internasional, nasional dan lokal. Berbagai dampak ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan masyarakat semakin meragukan masyarakat dunia akan keberlanjutan ekosistem pertanian dalam menopang kehidupan manusia pada masa mendatang. Pendekatan pragmatis peningkatan produksi pangan jangka pendek cenderung mendorong dan meningkatkan praktek pengurasan dan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran dan terus menerus sehingga mengakibatkan semakin menurunnya daya dukung lingkungan pertanian dalam menyangga kegiatan-kegiatan pertanian.
Bila kebijakan dan praktek pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah dan petani yang masih bertumpu pada kebijakan dan praktek konvensional, akan membahayakan masa depan petani, lingkungan pertanian, masyarakat, bangsa negara serta dunia. Kebijakan dan praktek pertanian konvensional harus diubah menjadi kebijakan dan praktek pertanian berkelanjutan yang bertujuan memenuhi kebutuhan produk pertanian dan pangan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan produk pertanian dan pangan generasi masa mendatang.

Dampak Pertanian Konvensional
Beberapa dampak samping pendekatan dan penerapan pertanian konvensional antara lain:
·          Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor.
·          Penurunan kesuburan tanah.
·          Kehilangan bahan organik tanah.
·          Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah.
·          Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida,    limbah domestic.
·          Eutrifikasi badan air.
·          Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar.
·          Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman local.
·          Kontribusi dalam proses pemanasan global.
·          Peningkatan pengangguran.
·          Penurunan lapangan kerja, peningkatan kesenjangan sosial dan jumlah petani gurem di pedesaan.
·          Peningkatan kemiskinan dan malnutrisi di pedesaan.
·          Ketergantungan petani pada pemerintah dan perusahaan/industri agrokimia.
Penerapan pertanian konvensional pada tahap-tahap permulaan mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pangan secara nyata, namun kemudian efisiensi produksi semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan. Bila kita terapkan prinsip ekonomi lingkungan dengan menginternalisasikan biaya lingkungan dalam perhitungan neraca ekonomi suatu usaha dan program pembangunan pertanian maka yang diperoleh pengusaha dan negara adalah kerugian besar. Perhitungan GNP dan GDP yang dilakukan Pemerintah saat ini sebenarnya tidak realistis. Sayangnya biaya lingkungan jarang dimasukkan sepenuhnya dalam perhitungan neraca usaha dan pertumbuhn ekonomi nasional.

Agenda 21 Komitmen Pertanian Berkelanjutan
Dadar akan dampak samping Pertanian Konvensional masyarakat lingkungan global sudah lama menyepakati penerapan dan pengembangan konsep Pertanian Berkelanjutan atau Sustainable Development sebagai realisasi Pembangunan Berkelanjutan pada sektor Pertanian dan Pangan. Agenda 21 merupakan agenda berbagai program aksi pembangunan berkelanjutan yang disepakati oleh para pemimpin dunia di KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992. Chapter 14 Agenda 21 berjudul Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development (SARD) merinci berbagai konsep dan program aksi Pertanian Berkelanjutan yang perlu dilaksanakan oleh semua negara .
Menurut Agenda 21 konsep keberlanjutan merupakan konsep yang multidimensional termasuk didalamnya pencapaian tujuan ekologi, sosial dan ekonomi. Antara 3 dimensi ini terdapat kaitan dan ketergantungan yang sangat erat. Penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi di pedesaan merupakan dasar untuk penyediaan cara-cara untuk mempertahankan fungsi sosial dan lingkungan mereka. Menjaga kualitas lingkungan juga merupakan prasyarat atau prakondisi yang diperlukan bagi pengembangan potensi ekonomi jangka panjang di pedesaan. Integritas ekologi dan nilai lansekap pedesaan dapat merupakan daerah pedesaan sebagai kawasan wisata dan tempat hidup yang tenang dan menyenangkan sehingg dapat menarik investor untuk menanamkan modal.
Keberlanjutan pembangunan merupakan keberlanjutan peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat/penduduk tempat mereka berada dan hidup termasuk dalamnya ketersediaan berbagai jenis pangan yang cukup dan bermutu. Ketahanan pangan harus dilihat dari konteks peningkatan kualitas hidup penduduk dan lingkungan hidup di pedesaan. Pearce et al. (1994) menyatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development) mempunyai makna dan tujuan yang lebih luas daripada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan atau sustainable economic growth.
Tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan ekonomi pada tingkat tertentu dapat bersinergi. Namun pada kondisi-kondisi tertentu di lapangan, ketiga-tiganya dapat saling bersaing dan kurang saling mendukung. Apabila hal ini terjadi, konsep keberlanjutan mengarah pada diperlukannya keseimbangan yang benar antara 3 dimensi tersebut. Pilihan-pilihan kebijakan perlu ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan masing-masing dimensi yang saling berkaitan.
Pada tahun 2002, sepuluh tahun setelah KTT Bumi Rio kembali pemimpin-pemimpin dunia menghadiri KTT Bumi-10 di Johannesburg untuk mengevaluasi pelaksanaan Agenda 21. Hasil evaluasi FAO terhadap pelaksanaan Agenda 21 tentang SARD, memperlihatkan banyak negara (termasuk Indonesia) yang belum melaksanakan berbagai kebijakan dan program SARD yang telah disepakati dan ditandatangani di Rio tahun 1992.
Sebagai kesimpulan KTT Bumi-10 tetap sepakat bahwa Agenda 21 tetap valid dan relevan dilaksanakan sebagai agenda dunia pembangunan berkelanjutan pada era milenium ini. KTT Johannesburg menghasilkan Deklarasi dan Rencana Implementasi Johannesburg yang memberi penguatan pada program-program strategis (Agenda 21) dari deklarasi-deklarasi sebelumnya. KTT mengakui keterkaitan Pembangunan Berkelanjutan dengan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, perdagangan global, teknologi informasi dan yang lain melalui Millenium Development Goals (MDGs). Lembaga-lembaga dunia telah menetapkan bahwa pada tahun 2015 dunia harus sudah bebas dari kelaparan dan kekurangan pangan.

Pengertian Pertanian Berkelanjutan
Banyak definisi mengenai Pertanian Berkelanjutan dikemukakan oleh lembaga, pakar atau persorangan. Menurut FAO yang disebut Pertanian Berkelanjutan adalah setiap prinsip, metode, praktek, dan falsafah yang bertujuan agar pertanian layak ekonomi, secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial dapat diterima, berkeadilan, dan secara sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan dengan pendekatan holistik. Menurut Thrupp (1996) Pertanian Berkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggung-jawabkan yang secara skematis digambarkan oleh Gambar 1. Pertanian Berkelanjutan merupakan sistem usaha tani yang mampu mempertahankan produktivitas, dan kemanfaatannya bagi masyarakat dalam waktu yang tidak terbatas. Sistem demikian harus dapat mengkonservasikan sumberdaya, secara sosial didukung, secara ekonomi bersaing, dan secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanian Berkelanjutan mengutamakan pengelolaan ekosistem pertanian yang mempunyai diversitas atau keanekaragaman hayati tinggi. Menurut FAO Agricultural Biodiversity meliputi variasi dan variabilitas tanaman, binatang dan jasad renik yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi kunci ekosistem pertanian, struktur dan prosesnya untuk memperkuat/ dan memberikan sokongan pada produksi pangan dan keamanan pangan. (Ukabc, 2007) Ekosistem dengan kenekaragaman tinggi lebih stabil dan tahan gocangan, risiko terjadinya kerugian finansial lebih kecil, dapat mengurangi dampak bencana kekeringan dan banjir, melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit dan kendala alam lainnya. Diversifikasi juga dapat mengurangi cekaman ekonomi akibat peningkatan harga pupuk, pestisida dan input-input produksi lainnya. Ketahanan Pangan merupakan salah satu tujuan utama Pertanian Berkelanjutan.

Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan
Secara konseptual maupun historikal konsep Ketahanan Pangan merupakan bagian utama konsep Pertanian Berkelanjutan. Agenda 21 menyatakan bahwa Tujuan utama program Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (SARD) adalah meningkatkan produksi pangan dengan cara yang berkelanjutan serta memperkuat ketahanan pangan. Dalam Pertanian Berkelanjutan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dilaksanakan secara berkelanjutan dengan dampak yang seminimal mungkin bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat serta kualitas hidup penduduk di pedesaan. Program ini meliputi berbagai kegiatan mulai dari prakarsa pendidikan, pemanfaatan insentif ekonomi, pengembangan teknologi yang tepat guna hingga dapat menjamin persediaan pangan yang cukup dan bergizi, akses kelompok-kelompok rawan terhadap persediaan pangan tersebut, produksi untuk dilempar ke pasar, peningkatan pekerjaan dan penciptaan penghasilan untuk mengentaskan kemiskinan, serta pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan.
Peningkatan produksi pangan harus dilakukan dengan cara-cara yang berkelanjutan tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi, dan meminimalkan penggunaan dan ketergantungan pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan, mendukung kehidupan masyarakat pedesaan yang berkeadilan, meningkatkan kesempatan kerja serta menyediakan kehidupan masyarakat yang layak dan sejahtera, mengurangi kemiskinan dan kekurangan gizi, tidak membahayakan kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lahan pertanian, dan juga kesehatan konsumen produk-produk pertanian yang dihasilkan, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta selalu melestarikan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, memberdayakan dan memandirikan petani dalam mengambil keputusan pengelolaan lahan dan usaha taninya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya lokal dan kearifan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya alam.
Pendekatan Lintas Sektor
Secara eksplisit dan legal, kebijakan dan keputusan politik Pemerintah c.q. Departemen Pertanian mengenai Pertanian Berkelanjutan belum jelas dan tegas. Berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang telah diputuskan dan dijadwalkan oleh Agenda 21 tidak banyak yang kita laksanakan di lapangan. Penyebab utama adalah penerapan pendekatan sektoral yang sampai saat ini masih diikuti dan diterapkan secara ketat oleh jajaran birokrasi Pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah. Pendekatan parsial atau fraksional yang menyederhanakan masalah selalu kita lakukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul, termasuk masalah lingkungan hidup yang sangat kompleks dan multidimensi.
Agenda 21 dianggap sebagai agenda pembangunan lingkungan hidup maka yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan Agenda 21 adalah Kementerian Lingkungan Hidup bukan Departemen Pertanian dan departemen-departemen lainnya. Pendekatan yang egosektoral tersebut yang mengakibatkan banyak komitmen Indonesia pada banyak konvensi dan kesepakatan internasional tidak dapat dilaksanakan secara penuh di lapangan. Pendekatan egosektoral tersebut juga yang menyebabkan dalam era persaingan global saat ini, Indonesia selalu ketinggalan dan belum memperlihatkan komitmen tinggi terhadap berbagai kesepakatan global. Konsep Pembangunan Berkelanjutan termasuk Pertanian Berkelanjutan mengharuskan kita meninggalkan pendekatan egosektoral serta menerapkan dan mengembangkan pendekatan terpadu, lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu.
Seandainya Indonesia sesuai dengan komitmennya melaksanakan semua rekomendasi, kegiatan dan agenda yang ditetapkan oleh Agenda 21 tahun 1992, kemungkinan besar berbagai carut marut produksi pangan dan ketahanan pangan yang kita alami saat ini tidak terjadi. Disarankan agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku kepentingan pertanian lainnya (industri, swasta, petani, NGO, akademisi, peneliti, dll) mempelajari kembali Agenda 21 khususnya Chapter 14 tentang SARD serta menyepakati untuk segera memperbarui komitmen kita melaksanakan semua kebijakan dan program SARD pada semua aras keputusan, mulai dari tataran kebijakan sampai tataran pelaksanaan lapangan.

Departemen Pertanian dan Pangan
Tebalnya dinding-dinding sektor pertanian dan ketahanan pangan khususnya diurusi oleh banyak sektor dan subsektor atau oleh beberapa departemen dan lembaga non departemen, semakin menyulitkan koordinasi dan keterpaduan. Sistem pengelolaan ketahanan pangan menjadi tidak efektif dan efisien, banyak pemborosan, tumpang tindih dan ketidak-paduan. Departemen Pertanian saat ini tugas utamanya terutama dalam peningkatan produksi tanaman pangan on farm namun urusan penyediaan dan distribusi pangan dilaksanakan oleh lembaga lain (Bulog). Urusan perdagangan domestik dan internasional dilaksanakan oleh Departemen Perdagangan. Masalah pencemaran lingkungan pertanian merupakan urusan Kementerian LH, masalah mutu dan keamanan pangan sebagian diurui oleh Badan POM dan masih banyak kasus ketidakpaduan lainnya.
Pertanian dan pangan sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga diusulkan untuk waktu mendatang kedua bidang atau urusan tersebut dikelola oleh satu lembaga Pemerintah, baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Di tingkat pusat lembaga tersebut adalah Departemen Pertanian dan Pangan atau Departemen Pangan dan Pertanian . Di tingkat daerah adalah Dinas Pertanian dan Pangan atau Dinas Pangan dan Pertanian .. Lembaga ini yang mengurusi pertanian dan pangan sejak dari hulu sampai hilir, dari penyiapan lahan sampai pengolahan dan pemasaran dan perdagangn hasil pertanian.

Ketahanan Pangan Lokal
Indonesia dikaruniai Tuhan dengan keanekaragaman hayati, ekosistem, budaya yang sangat tinggi, satu lokasi berbeda dari lokasi-lokasi lainnya. Kemampuan dan keberadaan biodiversitas pertanian lokal harus dimanfaatkan dan dikembangkan guna meningkatkan dan mempertahankan ketahanan pangan dari aras lokal, daerah dan nasional. Penyeragaman kebijakan, rekomendasi dan praktek pertanian konvensional yang diberlakukan untuk semua kondisi lokal tidak tepat untuk mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat, termasuk peningkatan ketahanan pangan. Teknologi pertanian yang diterapkan harus disesuaikan dengan kemampuan kondisi lokal dalam menopang penerapan suatu teknologi. Berbagai teknologi dan kearifan lokal yang dikembangkan dan diterapkan masyarakat lokal termasuk dalam meningkatkan produksi dan kualitas pangan perlu dipertahankan dan diperbaiki kualitasnya. Bila setiap masyarakat lokal dapat meningkatkan ketahanan pangannya sesuai dengan kondisinya masing-masing, secara agregatif ketahanan pangan nasional yang lebih mantap dan berjangka panjang akan tercapai.
Untuk itu diperlukan kemauan politik dan komitmen pemerintah yang kuat terhadap penerapan konsep pertanian berkelanjutan. Sektor pertanian seharusnya menjadi sektor andalan pembangunan di Indonesia mengingat lebih dari 60% penduduk Indonesia hidup di pedesaan dan bergantung dari sektor pertanian. Seharusnya dunia Industri yang mendukung konsep pembangunan pertanian secara berkelanjutan sesuai dengan karakternya yang beranekaragam, bukan sebaliknya pembangunan pertanian yang mengikuti pendekatan industrial yang cenderung pada keseragaman dan efisiensi produksi.
Pemberdayaan Petani
Petani yang seharusnya menjadi pelaksana dan subyek utama pembangunan pertanian di Indonesia saat ini sedang dalam keadaan yang tidak berdaya, tidak mandiri dan sangat tergantung pada pihak-pihak lain. Ketergantungan mereka terutama dengan program dan bantuan Pemerintah, dengan dunia swasta dalam memperoleh input produksi seperti benih, pupuk dan pestisida, dengan para tengkulak dalam penyediaan uang tunai. Mereka tidak mampu menentukan apa yang harus mereka lakukan. Program-program pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung semakin meningkatkan ketergantungan mereka pada pemerintah. Karena ketergantungan dan ketidakberdayaan tersebut berbagai potensi manusiawi petani seperti inisiatif, kreativitas, inovasi, kearifan lokal menjadi semakin menghilang dan tidak berkembang. Berbagai kendala dan keterbatasan yang ada pada petani kita seperti, kualitas SDM, kepemilikan lahan dan modal, akses terhadap pasar dan informasi mengakibatkan petani tetap dalam posisi menjadi obyek pembangunan bukan sebagai subyek dan penentu pembangunan pertanian.
Semua pihak terutama Pemerintah dan dunia swasta agar menerima, mengakui, menghargai dan memfasilitasi hak petani untuk mandiri dan berdaya dalam mengambil keputusannya sendiri. Merekalah yang paling tahu apa yang diperlukan dan paling baik dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka dalam kondisi sosial budayanya masing-masing.. Tentang program pemberdayaan petani di pedesaan Agenda 21 membuat Bab khusus yaitu Chapter 32 dengan judul " Strengthening the role of farmers" atau Memperkuat Peran Petani.
Petani melalui berbagai organisasi swadaya petani menuntut agar mereka ikut serta dalam setiap pengambilan keputusan tentang bagaimana tanaman pangan dibudidayakan, diolah, diperdagangkan dan bagaimana manfaat yang diperoleh dari sistem pangan dunia/nasional/lokal dapat di bagikan secara adil. Kecenderungan dan keinginan kelompok-kelompok petani mandiri seluruh dunia (termasuk Indonesia) tersebut bertujuan untuk mengubah konsep Ketahanan Pangan (Food Security) yang dianggap berorientasi pada kepentingan pemerintah menjadi konsep Kedaulatan Pangan (Food Sovereignity) perlu ditanggapi Pemerintah secara arif bijaksana.
Permasalahan yang kita hadapi sekarang masih sangat sedikit petani Indonesia yang telah sadar dan mampu menuntut hak kedaulatan pangan yang mereka inginkan. Sebagian besar petani pangan masih terkukung dan tercekam dlam ketidakberdayaannya sehingga mereka hanya menunggu uluran dan inisiatif pihak-pihak lain terutama pemerintah. Merka tidak mampu keluar dari cekaman ketidakberdayaan tersebut atas usahanya sendiri.
Pemerintah dan pihak-pihak lain termasuk pihak swasta dan Perguruan Tinggi perlu membantu dan memfasilitasi usaha-usaha untuk mendorong kemandirian petani dan kelompok tani dengan metode pendidikan dan pelatihan petani yang sesuai dan efektif. Dari pengalaman Indonesia dan negara-negara berkembang lain dalam melaksanakan pelatihan petani secara partisipatori melalui sistem Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang benar, maka kemandirian, profesionalisme dan kepercayaan diri petani dapat dihidupkan dan dikembangkan kembali. Dengan petani yang mandiri dan profesional serta berani mengambil keputusan dalam menerapkan konsep Pertanian Berkelanjutan, ketahanan pangan lokal dan nasional yang mapan dan berlanjut dapat dicapai.

Kesimpulan dan Saran
  1. Praktek pertanian konvensional yang boros energi tak terbarukan di samping membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat juga tidak mencapai sasaran ketahanan pangan secara mantap dan berlanjut.
  2. Pertanian Berkelanjutan adalah pertanian yang layak ekonomi, secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial diterima, berkeadilan, dan secara sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan secara holistik.
  3. Ketahanan Pangan yang berkelanjutan merupakan tujuan utama Pembangunan Berkelanjutan. Ketahanan pangan dengan memanfaatkan keanekaragaman pertanian lokal akan membentuk ketahanan pangan nasional yang mantap dan berjangka panjang.
  4. Indonesia seharusnya konsisten dengan komitmennya dalam melasanakan semua program yang terinci dalam dokumen Agenda 21, termasuk tentang Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan.
  5. Untuk mengurangi ketidakpaduan antar sektor yang menangani pertanian dan pangan diusulkan pembentukan Departemen Pertanian dan Pangan.
  6. Semua pihak terkait agar memberikan perhatian, dukungan dan dorongan dalam usaha pemberdayaan petani serta menempatkan posisi mereka sama dan sejajar dengan pihak-pihak lain, sebagai pelaksana dan penentu keputusan program peningkatan produksi pertanian termasuk ketahanan pangan.

Daftar Acuan
United Nations, 1997. Earth Summit Agenda 21. The United Nations Programme of Action from Rio. 297 pp.
Pierce,D.A., Markandya and E.B. Barbier, 1994. Blueprint for a Green Economy/ Earthscan Publ.Ltd. London, 192 pp.
Thrupp, L.A. (ed),1996. New Partnerships for Sustainable Agriculture. World Resource Institute New York. 136 pp.
UKabc, 2007. Agricultural Biodeiversity for Food and Livelihood Security and Food Sovereignity, Didownload dari http://www.ukabc.org/ pada 4/10/2007.

09.09 by Muhammad Ali Alfi · 0